Selasa, 05 April 2011

Kehilangan....

Kubuka pintu rumah sambil mengucapkan salam sekenanya. Dari ruang makan ibu menjawab salamku dan kemudian menghampiriku. Biasanya yang kulakukan adalah balik menghampiri ibu dan lalu mencium tangannya. Tapi kali ini tidak, begitu melihat ibu aku justru berlari masuk ke kamarku, dan membanting pintunya. Aku langsung menelungkupkan tubuhku ditempat tidur, memeluk bantal dan menangis sejadi-jadinya. 
 

Tak lama pintu kamarku dibuka perlahan, aku menengok sebentar, terlihat sosok ibu di balik pintu yang terbuka perlahan. “Sial, aku lupa mengunci pintunya” makiku dalam hati. Kembali kubenamkan wajahku di bantal, meneruskan tangisku. Ibu menghampiri tempat tidurku dan duduk di ujungnya. Memandangi aku yang masih dibalut seragam putih-biru dengan kaus kaki yang masih menempel. Ibu hanya diam di sana memandangiku tanpa bersuara sedikitpun.
 

Lama-kelamaan aku malu menangis di depan ibu. Tangisku mereda, kuhapus air mataku dan berkata pada ibu.
 

“Bu, aku boleh tidur di pangkuan ibu?” 
 

Ibu tersenyum dan mengangguk perlahan, lalu menggeser posisinya mendekati aku. Aku tak perduli aku sudah 
kelas dua SMP, aku hanya rindu bermanja-manja pada ibu. Dan lagi saat ini aku memang perlu dimanja. Pada siapa lagi aku bisa bermanja-manja jika bukan pada ibu. Maka kurebahkan kepalaku dipangkuan ibu. Ibu menyisiri rambutku dengan jari-jarinya penuh kasih sayang. Dan akhirnya ibu bertanya :

“Kamu kenapa nak? Nggak biasa-biasanya kamu pulang sekolah kaya gini, ada masalah di sekolah?”
 

Aku menggeleng
 

“Terus kenapa dong?”
 

Aku menyembunyikan wajahku, ragu. haruskah kuceritakan penyebab tangisku pada ibu. Tapi jika tak kuceritakan dan kusimpan ini sendirian, aku tak akan merasa lega, lagipula ini ibuku sendiri. Maka aku merubah posisiku dan duduk menghadap ibu, lalu bercerita :
 

“Ibu,ibu ingat kan waktu aku SD nangis-nangis pulang sekolah karena tempat pensilku hilang?” 
 

Ibu mengangguk sambil tersenyum.
 

“Sejak saat itu aku mengalami banyak kehilangan lainnya kan bu. Pensil, penggaris, buku, mainan-mainanku, dan barang lainnya yang entah kemana karena keteledoranku. Lama-kelamaan barang-barang itu menjadi hal kecil, yang membuat aku merasa biasa saja jika hal kecil itu tiba-tiba tak ada. Nah sekarang ini aku kehilangan lagi bu, tapi bukan sekedar kehilangan alat tulis yang terselip entah kemana. Aku kehilangan bu.”
 

Aku menangis lagi, ibu mengusap kepalaku lembut. Kutarik nafas panjang sebelum kemudian melanjutkan bercerita.
 

“Beberapa mingu yang lalu Dio, kakak kelasku, minta aku jadi pacarnya. Dan waktu itu aku bilang mau bu.”
 

Ibu tersenyum meledek
 

“Ahh, ibu jangan gitu dooong, nanti nggak aku lanjutin niih”
 

Ibu tertawa kecil lalu berkata “Iya iya ibu gak ngeledek, ayo lanjutin ceritanya. Emang kamu pacaran gimana sama dia?”
 

“Ya gitu bu, dia sering main ke kelasku kalau jam istirahat, terus kita ke kantin bareng. Dia suka nyolong-nyolong izin pura-pura mau ke toilet kalau aku lagi jam pelajaran olahraga. Kalau pulang sekolah kita juga suka pulang bareng”
 

“Terus, kenapa kamu punya pacar tapi malah nangis-nangis gini? Dia nggak ngapa-ngapain kamu kan?” 
 

Suara ibu berusaha dibuat tenang, walaupun bisa kutangkap nada khawatir dalam pertanyaannya.
 

“Aku nggak diapa-apain sih bu, nyolek aku aja dia nggak aku izinin”
 

Aku menangkap senyum lega di wajah ibu
 

“Tapi tadi waktu jam pulang sekolah aku lihat dia gandengan tangan sama kakak kelas aku yang lain. Waktu aku datengin dia malah bilang ke temen-temennya kalau aku ini anak kelas dua yang ngejar-ngejar dia. Aku kesel banget, dadaku langsung sakit waktu itu. Tapi aku nggak mau nangis di depan dia, aku tahan. Sampai waktu masuk rumah tadi, aku akhirnya udah nggak tahan lagi.”
 

Ibu tidak tertawa kali ini, dia tersenyum, dan bukan juga senyum meledek seperti sebelumnya. Ibu kembali mengusap lembut kepalaku dan kemudian berkata :
 

“Dadamu terasa sakit itu karena sebenarnya hatimu sakit. Hati itu rapuh sayang. Sedikit saja ia tersakiti, lukanya akan membekas dalam. Tapi yang sudah terjadi nggak perlu kamu sesali kan? Kalau kamu sekarang ngerasain sakit itu, paling tidak kamu jadi sadar kamu masih punya hati yang masih bisa merasa dengan baik, biarpun sekarang yang kamu rasakan itu perih.”
 

Aku berkaca-kaca
 

“Harusnya memang kamu nggak perlu membiarkan hatimu sakit dulu untuk meyakinkan kamu benar-benar punya hati. Tapi yang penting, mulai sekarang kamu harus ekstra hati-hati dalam membiarkan orang lain masuk ke dalam hatimu nak.”
 

Aku mengangguk lemah. Ibu lalu melanjutkan :
 

“Membiarkan orang memasuki hatimu itu ibarat membiarkan orang itu memiliki kuasa atas hatimu. Biarpun itu tidak boleh membuat kamu menjadikan mereka berhalamu, karena penguasa sesungguhnya dari hatimu adalah Tuhan.”
 

Aku tersenyum kali ini, ibu mengecup keningku
 

“Maka sekali lagi nak, sebelum membiarkan seseorang memasuki hatimu, pastikanlah dia pemimpin yang baik untuk hatimu. Hingga dia tidak akan membiarkan hati tempatnya bernaung itu terluka”
 

Aku mengangguk sambil menempelkan kepalaku di pundak ibu. 
 

“Tapi ingat nak, sebaik-baiknya kau menjaga hatimu, dan sebaik-baiknya penjaga hatimu, kamu tetap harus selalu siap akan kemungkinan kehilangan. Karena tak akan ada yang bisa kamu miliki untuk selamanya. Semua itu bahkan sesungguhnya hanya dititipkan Tuhan kepadamu. Dan apapun yang dipinjamkan, suatu saat akan diambil kembali. Bahkan ibu, atau kamu, kita suatu saat akan diambil kembali oleh Tuhan, jika masa meminjam kita telah habis. Kalau kamu mengerti itu, ibu yakin kamu nggak akan sedih lagi, iya kan”
 

Aku kembali mengangguk. Kupeluk ibu, lalu kukecup pelan pipinya.
 

“Makasih yah bu, ibu bikin aku lebih lega. Aku sayang ibu”
 

“Ibu juga sayang kamu nak” Balas ibu
 

Aku tersenyum lebar dipelukan ibu

Tapi kali ini aku tahu (dan lebih siap) akan lebih banyak kehilangan yang menungguku di depan sana...

2 komentar:

  1. mw komentar ahh,,.. tulisan'y gk jelas dibaca.. apa karena hurufnya miring yah??
    masukan aja ini mah hehehe

    BalasHapus
  2. hehe iya maaf, ntar aku ganti dech :)

    BalasHapus