Kehilangan....
Kubuka
pintu rumah sambil mengucapkan salam sekenanya. Dari ruang makan ibu menjawab
salamku dan kemudian menghampiriku. Biasanya yang kulakukan adalah balik
menghampiri ibu dan lalu mencium tangannya. Tapi kali ini tidak, begitu melihat
ibu aku justru berlari masuk ke kamarku, dan membanting pintunya. Aku langsung
menelungkupkan tubuhku ditempat tidur, memeluk bantal dan menangis sejadi-jadinya.
Tak
lama pintu kamarku dibuka perlahan, aku menengok sebentar, terlihat sosok ibu
di balik pintu yang terbuka perlahan. “Sial,
aku lupa mengunci pintunya” makiku dalam hati. Kembali
kubenamkan wajahku di bantal, meneruskan tangisku. Ibu menghampiri tempat
tidurku dan duduk di ujungnya. Memandangi aku yang masih dibalut seragam
putih-biru dengan kaus kaki yang masih menempel. Ibu hanya diam di sana
memandangiku tanpa bersuara sedikitpun.
Lama-kelamaan
aku malu menangis di depan ibu. Tangisku mereda, kuhapus air mataku dan berkata
pada ibu.
“Bu,
aku boleh tidur di pangkuan ibu?”
Ibu
tersenyum dan mengangguk perlahan, lalu menggeser posisinya mendekati aku. Aku
tak perduli aku sudah
kelas dua SMP, aku hanya rindu bermanja-manja pada ibu.
Dan lagi saat ini aku memang perlu dimanja. Pada siapa lagi aku bisa
bermanja-manja jika bukan pada ibu. Maka kurebahkan kepalaku dipangkuan ibu.
Ibu menyisiri rambutku dengan jari-jarinya penuh kasih sayang. Dan akhirnya ibu
bertanya :
“Kamu
kenapa nak? Nggak biasa-biasanya kamu pulang sekolah kaya gini, ada masalah di
sekolah?”
Aku
menggeleng
“Terus
kenapa dong?”
Aku
menyembunyikan wajahku, ragu. haruskah kuceritakan penyebab tangisku pada ibu.
Tapi jika tak kuceritakan dan kusimpan ini sendirian, aku tak akan merasa lega,
lagipula ini ibuku sendiri. Maka aku merubah posisiku dan duduk menghadap ibu,
lalu bercerita :
“Ibu,ibu
ingat kan waktu aku SD nangis-nangis pulang sekolah karena tempat
pensilku hilang?”
Ibu
mengangguk sambil tersenyum.
“Sejak
saat itu aku mengalami banyak kehilangan lainnya kan bu. Pensil, penggaris,
buku, mainan-mainanku, dan barang lainnya yang entah kemana karena
keteledoranku. Lama-kelamaan barang-barang itu menjadi hal kecil, yang membuat
aku merasa biasa saja jika hal kecil itu tiba-tiba tak ada. Nah sekarang ini
aku kehilangan lagi bu, tapi bukan sekedar kehilangan alat tulis yang terselip
entah kemana. Aku kehilangan bu.”
Aku
menangis lagi, ibu mengusap kepalaku lembut. Kutarik nafas panjang sebelum
kemudian melanjutkan bercerita.
“Beberapa
mingu yang lalu Dio, kakak kelasku, minta aku jadi pacarnya. Dan waktu itu aku
bilang mau bu.”
Ibu
tersenyum meledek
“Ahh,
ibu jangan gitu dooong, nanti nggak aku lanjutin niih”
Ibu
tertawa kecil lalu berkata “Iya
iya ibu gak ngeledek, ayo lanjutin ceritanya. Emang kamu pacaran gimana sama
dia?”
“Ya
gitu bu, dia sering main ke kelasku kalau jam istirahat, terus kita ke kantin
bareng. Dia suka nyolong-nyolong izin pura-pura mau ke toilet kalau aku lagi
jam pelajaran olahraga. Kalau pulang sekolah kita juga suka pulang bareng”
“Terus,
kenapa kamu punya pacar tapi malah nangis-nangis gini? Dia nggak ngapa-ngapain
kamu kan?”
Suara
ibu berusaha dibuat tenang, walaupun bisa kutangkap nada khawatir dalam
pertanyaannya.
“Aku
nggak diapa-apain sih bu, nyolek aku aja dia nggak aku izinin”
Aku
menangkap senyum lega di wajah ibu
“Tapi
tadi waktu jam pulang sekolah aku lihat dia gandengan tangan sama kakak kelas
aku yang lain. Waktu aku datengin dia malah bilang ke temen-temennya kalau aku
ini anak kelas dua yang ngejar-ngejar dia. Aku kesel banget, dadaku langsung
sakit waktu itu. Tapi aku nggak mau nangis di depan dia, aku tahan. Sampai
waktu masuk rumah tadi, aku akhirnya udah nggak tahan lagi.”
Ibu
tidak tertawa kali ini, dia tersenyum, dan bukan juga senyum meledek seperti
sebelumnya. Ibu kembali mengusap lembut kepalaku dan kemudian berkata :
“Dadamu
terasa sakit itu karena sebenarnya hatimu sakit. Hati itu rapuh sayang. Sedikit
saja ia tersakiti, lukanya akan membekas dalam. Tapi yang sudah terjadi nggak
perlu kamu sesali kan? Kalau kamu sekarang ngerasain sakit itu, paling tidak
kamu jadi sadar kamu masih punya hati yang masih bisa merasa dengan baik,
biarpun sekarang yang kamu rasakan itu perih.”
Aku
berkaca-kaca
“Harusnya
memang kamu nggak perlu membiarkan hatimu sakit dulu untuk meyakinkan kamu
benar-benar punya hati. Tapi yang penting, mulai sekarang kamu harus ekstra
hati-hati dalam membiarkan orang lain masuk ke dalam hatimu nak.”
Aku
mengangguk lemah. Ibu lalu melanjutkan :
“Membiarkan
orang memasuki hatimu itu ibarat membiarkan orang itu memiliki kuasa atas
hatimu. Biarpun itu tidak boleh membuat kamu menjadikan mereka berhalamu,
karena penguasa sesungguhnya dari hatimu adalah Tuhan.”
Aku
tersenyum kali ini, ibu mengecup keningku
“Maka
sekali lagi nak, sebelum membiarkan seseorang memasuki hatimu, pastikanlah dia
pemimpin yang baik untuk hatimu. Hingga dia tidak akan membiarkan hati
tempatnya bernaung itu terluka”
Aku
mengangguk sambil menempelkan kepalaku di pundak ibu.
“Tapi
ingat nak, sebaik-baiknya kau menjaga hatimu, dan sebaik-baiknya penjaga
hatimu, kamu tetap harus selalu siap akan kemungkinan kehilangan. Karena tak
akan ada yang bisa kamu miliki untuk selamanya. Semua itu bahkan sesungguhnya
hanya dititipkan Tuhan kepadamu. Dan apapun yang dipinjamkan, suatu saat akan
diambil kembali. Bahkan ibu, atau kamu, kita suatu saat akan diambil kembali
oleh Tuhan, jika masa meminjam kita telah habis. Kalau kamu mengerti itu, ibu
yakin kamu nggak akan sedih lagi, iya kan”
Aku kembali
mengangguk. Kupeluk ibu, lalu kukecup pelan pipinya.
“Makasih
yah bu, ibu bikin aku lebih lega. Aku sayang ibu”
“Ibu
juga sayang kamu nak” Balas ibu
Aku
tersenyum lebar dipelukan ibu
Tapi kali ini aku tahu (dan lebih siap) akan lebih banyak kehilangan
yang menungguku di depan sana...
hehe iya maaf, ntar aku ganti dech :)
BalasHapus