al-Qur’anul
Karim mengabadikan kisah gadis Bani Ma’zhum ini dalam surat An-Nahl ayat 92, “Dan janganlah kamu seperti perempuan yang
menguraikan benangnya yang sudah dipintal dengan kuat menjadi bercerai-berai
kembali…” Yang dimaksud Al-Qur’an dengan ‘wanita pengurai benang
yang telah dipintal’ tidak lain adalah Rithah Al-Hamqa.
Dalam ayat tersebut, Allah melarang kita berkelakuan seperti Rithah dalam menghadapi masalah jodoh. Namun demikian, banyak ibrah yang dapat kita petik dari episod gadis kaya keturunan Bani Ma’zhum tersebut.
Kisah Rithah mengajarkan kita bahwa jodoh sebenarnya merupakan urusan Allah. Jodoh tidak dapat dihindari manakala kita belum menginginkannya, dan sebaliknya ia juga tidak dapat dikejar ketika kita sudah teramat sangat ingin mendapatkannya. Bukankah Rasul pun telah bersabda: “Ketika ditiupkan ruh pada anak manusia tatkala ia masih di dalam perut ibunya sudah ditetapkan ajalnya, rezekinya, jodohnya dan celaka atau bahagianya di akhirat”. Kerana Allah telah menentukan jodoh kita maka tidak layak bagi kita untuk bimbang dan risau seperti Rithah. Kalau sudah sampai waktunya jodoh itu pasti akan datang sendiri.
Episod Rithah juga mengajarkan kita untuk melakukan ikhtiar (usaha) dalam mencapai cita-cita. Kalau ibu Rithah mendatangi berbagai ahli nujum agar anaknya berhasil mendapat jodoh, bagi kita tentunya mendatangi Allah (yang Maha Pengabul Doa) agar tujuan kita tercapai dengan cara berdoa dengan khusu sesuai dengan yang disyariatkan. Selain, usaha-usaha lainnya yang tiak melanggar syariat. Allah sendiri telah berfirman: “Dan apabila hamba-Ku bertanya tentang Aku, maka jawablah bahawa Aku dekat. Aku mengabulkan doa orang-orang yang berdoa kepada-Ku…” (QS.2:186)
Dengan ayat tersebut, Allah memberikan harapan yang sebesar-besarnya bahwa setiap doa yang disampaikan pada-Nya akan dikabulkan. Allah tidak mungkin mungkiri janji, siapa yang paling tepat janjinya selain Allah? Dalam sebuah hadis riwayat Abu Dawud, Tarmizi dan lbnu Majah, Rasul pun bersabda tentang masalah doa, “Sesungguhnya Allah malu terhadap seseorang yang menadahkan tangannya berdoa meminta kebaikan kepada-Nya, kemudian menolaknya dalam keadaan hampa.”
Dalam ayat tersebut, Allah melarang kita berkelakuan seperti Rithah dalam menghadapi masalah jodoh. Namun demikian, banyak ibrah yang dapat kita petik dari episod gadis kaya keturunan Bani Ma’zhum tersebut.
Kisah Rithah mengajarkan kita bahwa jodoh sebenarnya merupakan urusan Allah. Jodoh tidak dapat dihindari manakala kita belum menginginkannya, dan sebaliknya ia juga tidak dapat dikejar ketika kita sudah teramat sangat ingin mendapatkannya. Bukankah Rasul pun telah bersabda: “Ketika ditiupkan ruh pada anak manusia tatkala ia masih di dalam perut ibunya sudah ditetapkan ajalnya, rezekinya, jodohnya dan celaka atau bahagianya di akhirat”. Kerana Allah telah menentukan jodoh kita maka tidak layak bagi kita untuk bimbang dan risau seperti Rithah. Kalau sudah sampai waktunya jodoh itu pasti akan datang sendiri.
Episod Rithah juga mengajarkan kita untuk melakukan ikhtiar (usaha) dalam mencapai cita-cita. Kalau ibu Rithah mendatangi berbagai ahli nujum agar anaknya berhasil mendapat jodoh, bagi kita tentunya mendatangi Allah (yang Maha Pengabul Doa) agar tujuan kita tercapai dengan cara berdoa dengan khusu sesuai dengan yang disyariatkan. Selain, usaha-usaha lainnya yang tiak melanggar syariat. Allah sendiri telah berfirman: “Dan apabila hamba-Ku bertanya tentang Aku, maka jawablah bahawa Aku dekat. Aku mengabulkan doa orang-orang yang berdoa kepada-Ku…” (QS.2:186)
Dengan ayat tersebut, Allah memberikan harapan yang sebesar-besarnya bahwa setiap doa yang disampaikan pada-Nya akan dikabulkan. Allah tidak mungkin mungkiri janji, siapa yang paling tepat janjinya selain Allah? Dalam sebuah hadis riwayat Abu Dawud, Tarmizi dan lbnu Majah, Rasul pun bersabda tentang masalah doa, “Sesungguhnya Allah malu terhadap seseorang yang menadahkan tangannya berdoa meminta kebaikan kepada-Nya, kemudian menolaknya dalam keadaan hampa.”
lbrah
berikutnya yang dapat kita petik, ialah memupuk sikap ‘sabar’ dalam menghadapi
jodoh yang mungkin belum juga menghampiri kita padahal usia kita telah semakin
senja. Firman Allah dalam Surah al-Baqarah ayat 45, “Dan jadikanlah sabar
dan solat sebagai penolongmu, sesungguhnya yang demikian itu amat berat kecuali
bagi orang-orang yang khusyu’, yaitu orang-orang yang meyakini bahawa mereka
akan menemui Rabbnya, dan mereka akan kembali padaNya.”
Sabar dan solat akan selalu membentengi kita dari desakan orang sekeliling dan godaan setan yang berharap kita salah langkah dalam masalah jodoh ini. Masalah ini banyak ditanggung oleh saudara-saudara kita yang sudah layak nikah namun belum ada juga ikhwan yang datang meminang merupakan ujian yang – wallahu a’lam – sesuai dengan ketetapan Allah. Banyak kisah nyata bahawa resah gelisah dan tidak sabar dalam masalah jodoh malah membuat kehidupan selepas pernikahan jadi tidak seindah semasa masih bujang.
Di samping itu, kita pun harus tetap menjaga kemurnian niat kita untuk menikah. Motivasi usia yang semakin senja serta tidak tahan mendengar umpatan orang sekitar harus secepatnya dihilangkan. ltu semua tidak akan menghasilkan suatu rumahtangga Islami yang kita harapkan. Ini adalah karena kekukuhan rumahtangga kita seiring dengan kuatnya landasan iman dan niat ikhlas kita. Sungguh beruntung sekali menjadi orang-orang mukmin. Tatkala mendapat ujian (termasuk jodoh) ia akan bersabar maka sabarnya menjadi kebaikan baginya. Dan ketika mendapat nikmat ia bersyukur, maka kesyukurannya itu menjadi baik pula baginya.
Kisah gadis Bani Ma’zhum itu juga memberikan nasihat pada manusia di zaman setelahnya, bahwa jodoh merupakan amanah Allah. Amanah yang hanya akan diberikan pada seseorang yang dianggap telah mampu memikulnya kerana amanah merupakan sesuatu yang harus dipelihara dengan baik dan dipertanggungjawabkan. Manakala kita belum dikurniai amanah jodoh oleh Allah, mungkin belum waktunya untuk kita memikul amanah tersebut. Sikap kita yang paling baik dalam hal ini adalah sentiasa bersangka baik (husnudzon) kepada-Nya. Kerena sesuatu yang kita cintai atau sesuatu yang kita anggap baik (jodoh) belum tentu baik bagi kita menurut Allah. Begitu pula sebaliknya sesuatu yang kita anggap buruk bagi diri kita belum tentu buruk menurut ilmu Allah. “Boleh jadi kamu mencintai sesuatu padahal sesuatu itu amat buruk bagimu, dan boleh jadi kamu membenci sesuatu, padahal itu amat baik bagimu. Kamu tidak mengetahui sedangkan Allah Maha Mengetahui.” (QS. 2:216)
Terakhir, kisah Rithah memberikan ibrah kepada kita untuk mengarahkan cinta (mahabbah) tertinggi kita kepada yang memang berhak memilikinya. Cinta Rithah yang begitu tinggi diarahkan kepada makhluk (suaminya), hingga membuat dia ‘gila sasau’. Bagi kita, tentu cinta yang tertinggi itu hanya patut dipersembahkan buat yang Maha A’la pula (Khaliq). Bukankah salah satu ciri mukmin adalah asyaddu huballillah adapun orang-orang yang beriman itu amat sangat cintanya kepada Allah (asyaddu huballillah). (QS. 2:165). Jika arah cinta kita sudah benar, maka yakinlah Allah SWT tidak akan mengabaikan kehidupan kita.
Seorang penyair yang terkenal di negeri ini, Chairil Anwar pernah menulis puisi:
Sabar dan solat akan selalu membentengi kita dari desakan orang sekeliling dan godaan setan yang berharap kita salah langkah dalam masalah jodoh ini. Masalah ini banyak ditanggung oleh saudara-saudara kita yang sudah layak nikah namun belum ada juga ikhwan yang datang meminang merupakan ujian yang – wallahu a’lam – sesuai dengan ketetapan Allah. Banyak kisah nyata bahawa resah gelisah dan tidak sabar dalam masalah jodoh malah membuat kehidupan selepas pernikahan jadi tidak seindah semasa masih bujang.
Di samping itu, kita pun harus tetap menjaga kemurnian niat kita untuk menikah. Motivasi usia yang semakin senja serta tidak tahan mendengar umpatan orang sekitar harus secepatnya dihilangkan. ltu semua tidak akan menghasilkan suatu rumahtangga Islami yang kita harapkan. Ini adalah karena kekukuhan rumahtangga kita seiring dengan kuatnya landasan iman dan niat ikhlas kita. Sungguh beruntung sekali menjadi orang-orang mukmin. Tatkala mendapat ujian (termasuk jodoh) ia akan bersabar maka sabarnya menjadi kebaikan baginya. Dan ketika mendapat nikmat ia bersyukur, maka kesyukurannya itu menjadi baik pula baginya.
Kisah gadis Bani Ma’zhum itu juga memberikan nasihat pada manusia di zaman setelahnya, bahwa jodoh merupakan amanah Allah. Amanah yang hanya akan diberikan pada seseorang yang dianggap telah mampu memikulnya kerana amanah merupakan sesuatu yang harus dipelihara dengan baik dan dipertanggungjawabkan. Manakala kita belum dikurniai amanah jodoh oleh Allah, mungkin belum waktunya untuk kita memikul amanah tersebut. Sikap kita yang paling baik dalam hal ini adalah sentiasa bersangka baik (husnudzon) kepada-Nya. Kerena sesuatu yang kita cintai atau sesuatu yang kita anggap baik (jodoh) belum tentu baik bagi kita menurut Allah. Begitu pula sebaliknya sesuatu yang kita anggap buruk bagi diri kita belum tentu buruk menurut ilmu Allah. “Boleh jadi kamu mencintai sesuatu padahal sesuatu itu amat buruk bagimu, dan boleh jadi kamu membenci sesuatu, padahal itu amat baik bagimu. Kamu tidak mengetahui sedangkan Allah Maha Mengetahui.” (QS. 2:216)
Terakhir, kisah Rithah memberikan ibrah kepada kita untuk mengarahkan cinta (mahabbah) tertinggi kita kepada yang memang berhak memilikinya. Cinta Rithah yang begitu tinggi diarahkan kepada makhluk (suaminya), hingga membuat dia ‘gila sasau’. Bagi kita, tentu cinta yang tertinggi itu hanya patut dipersembahkan buat yang Maha A’la pula (Khaliq). Bukankah salah satu ciri mukmin adalah asyaddu huballillah adapun orang-orang yang beriman itu amat sangat cintanya kepada Allah (asyaddu huballillah). (QS. 2:165). Jika arah cinta kita sudah benar, maka yakinlah Allah SWT tidak akan mengabaikan kehidupan kita.
Seorang penyair yang terkenal di negeri ini, Chairil Anwar pernah menulis puisi:
Tuhanku
Dalam termangu, aku masih menyebut nama-Mu
Walau susah sungguh
Mengingat kau penuh seluruh.
Tuhanku
Aku hilang bentuk
Remuk.
Tuhanku
Di pintu-Mu aku mengetuk
Aku tidak bisa berpaling.
Dalam termangu, aku masih menyebut nama-Mu
Walau susah sungguh
Mengingat kau penuh seluruh.
Tuhanku
Aku hilang bentuk
Remuk.
Tuhanku
Di pintu-Mu aku mengetuk
Aku tidak bisa berpaling.
(dari petikan puisi ‘DOA’ – Chairil Anwar)
Chairil Anwar sampai begitu sekali dalamnya mencintai Allah dalam sajak tersebut, mengapa kita tidak bisa? Wallahua’lam bissawab.
his
entrBagi seorang gadis, ada masa penantian yang acapkali menimbulkan suasana
rawan, menanti jodoh. Padahal jodoh, maut dan rezeki adalah wewenang Allah
semata. Tak ada sedikitpun hak manusia untuk mengklaim wewenang tersebut. Tapi,
watak manusia terkadang lupa dengan janji Allah. Apalagi bila lingkungan
sekitarnya terus menerus memburu'nya untuk menikah, sementara jodoh yang
dinantikan tak kunjung tiba. Dalam keadaan demikian, kerap muncul bermacam efek
yang dapat membahayakan dirinya.
Seorang
wanita akan dianggap dewasa bila ia telah mengalami menstruasi. Islam mencatat
masa ini sebagai masa awal mukallafnya seorang wanita. Yang perlu diketahui,
wanita sekarang menjadi akil baligh jauh lebih cepat dibanding masa dahulu. Dua
puluh tahun yang lampau, wanita paling cepat mengalami menstruasi pada usia 15
tahun. Namun pada masa ini, tak jarang wanita mulai mens pada usia 11 tahun.
Akibatnya, kedewasaan wanita terhadap masalah-masalah perkawinan akan meningkat
secara cepat.
Keresahan
mulai melanda tatkala usia sudah merangkak naik, tapi calon suami tak kunjung
datang. Tanpa disadari, ada perilaku-perilaku yang mestinya tak layak dilakukan
oleh seseorang yang sudah dianggap sebagai teladan dilingkungannya. Ada
muslimah-muslimah yang menjadi sangat sensitif terhadap acara-acara walimah
ataupun wacana-wacana seputar jodoh dan pernikahan. Ada juga yang bersikap
seolah tak ingin segera menikah dengan berbagai alasan seperti karir, studi
maupun ingin terlebih dulu membahagiakan orang tua. Padahal, hal itu cuma
sebagai pelampiasan perasaan lelah menanti jodoh.
Sebaliknya,
ada juga muslimah yang cenderung bersikap over acting. Terlebih bila sedang
menghadiri acara-acara yang juga dihadiri lawan jenisnya. Ia akan melakukan
berbagai hal agar "terlihat", berkomentar hal-hal yang nggak perlu
yang gunanya cuma untuk menarik perhatian, atau aktif berselidik jika mendengar
ada laki-laki (ikhwan) yang siap menikah. Seperti halnya wanita dimata
laki-laki, kajian dengan tema "ikhwan" pun menjadi satu wacana
favorit yang tak kunjung usai dibicarakan dalam komunitas muslimah.
Data
yang terlihat dibeberapa biro jodoh juga menambah daftar panjang fenomena yang
menggambarkan betapa kaum Hawwa sangat dihantui masalah-masalah rawan yang
membuat kita berpikir panjang dan harus segera dicarikan jalan keluarnya.
Tentang
hal diatas, Al qur'an dengan apik mengisahkan ketidakberdayaan seorang wanita
menghadapi masa penantian. "Dan janganlah kamu seperti seorang perempuan
yang menguraikan benangnya yang sudah dipintal dengan kuat, menjadi cerai berai
kembali ..." (QS. An Nahl:92).
Pernikahan
memang bukan fardhu. Tidak ada dosa atas seseorang yang tidak menikah selama ia
memang tidak menentang sunnah Rasul ini. Jadi, sekarang atau nanti kita
menikah, bukanlah problem
utama. Yang terpenting adalah bagaimana mengisi
masa-masa penantian ini dengan hal-hal yang positif ataupun aktifitas yang
berkenaan dengan persiapan pra nikah.
Persiapan
berawal dari hati. Kebersihan hati akan membuat seseorang tenang dalam
melangkah. Istilah "perawan tua" tidak akan menggetarkan
perjalanannya dan membuat dia berpaling dari jalan dakwah. Kalaupun tak
berjodoh di dunia, bukankah Allah akan menggantikannya di akhirat kelak sesuai
dengan tingkatan amalnya?
Kebersihan
hati juga akan sangat menentukan sikap qona'ah (ikhlas menerima dan merasa
cukup) terhadap pemberian Allah. Sehingga ia dengan senang hati menerima, jika
sekiranya Allah memberinya jodoh seseorang yang secara fisik (selain agama)
tidak sesuai harapannya, agar tidak kaget melihat standar kebahagiaan yang
diluar bayangannya.
Orang
tua dan keluarga juga perlu dikondisikan, agar mereka tidak menyalahkan Islam.
Banyak orang tua yang beranggapan bahwa jilbab adalah yang selama ini menjadi
penghalang anaknya tidak mendapatkan pasangan.
Selain
itu, bersabar dan berdo'a nampaknya merupakan kunci mutlak untuk menstabilkan
moral (akhlaq). Dengan kesabaran, ada pintu-pintu yang terbuka yang barangkali
tak terlihat ketika kita sedang sempit dada. Dengan do'a, ada jalinan mesra
dengan Sang Pemilik. Mungkin tidak saat itu juga do'a-do'a kita akan segera
dikabulkan, tetapi bukankah do'a adalah ibadah? Jadi, semakin banyak do'a
terucap, semakin banyak pula ibadah dilakukan.
Buat
para muslimah yang baru saja menikmati keindahan meneguk bahtera rumah tangga,
tampaknya ada sikap yang harus dilakukan untuk menjaga perasaan muslimah yang
belum menikah. Istri-istri baru itu, biasanya senang "mengompori".
Sebenarnya sikap ini sah-sah saja, agar tampak bukti bahwa menikah tanpa
pacaran, menikah dalam rangka dakwah adalah "pengorbanan" yang
menyejukkan. Tapi jika hanya sekedar memanasi tanpa solusi, sebaiknya sikap
seperti itu ditahan. Apalagi jika si muslimah
itu tidak siap dengan cerita-cerita seputar nikah itu, bisa jadi akan memedihkan perasaannya.
itu tidak siap dengan cerita-cerita seputar nikah itu, bisa jadi akan memedihkan perasaannya.
Namun
demikian, lain halnya dengan muslimah-muslimah yang 'bandel', yang dengan
berbagai alasan kerap menolak untuk menikah meski seharusnya sudah siap. Baik
tuntutan dakwah maupun tuntutan lainnya.
Menikah
adalah ibadah. Tapi, ia bukan satu-satunya ibadah. Masih banyak alternatif
ibadah yang bisa dilakukan. Alangkah naifnya bila kita malah banyak membuang waktu
untuk memikirkan masalah pernikahan yang tak kunjung juga teralami. Masih
banyak pekerjaan dan hal lain yang membutuhkan penyaluran potensi kita. Mumpung
masih gadis, optimalkanlah potensi diri. Karena kelak, jika kesibukan menjadi
istri dan ibu menghampiri kita, waktu untuk menuntut ilmu, menghapal ayat
Qur'an dan hadits, bahkan untuk bertemu Allah di sepertiga malam, tentu saja
akan berkurang. Nah, kenapa tidak kita optimalkan sejak sekarang?
"Apakah kamu mengira
bahwa kamu akan masuk surga, padahal belum nyata bagi Allah orang-orang yang
berjihad diantaramu, dan belum nyata orang-orang yang sabar" (QS
3:142).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar