Selasa, 29 Maret 2011

* * * Penantian Cinta Pertama * * *

Hari ini akan menjadi hari yang membahagiakan untukku, keluargaku, dan tentu saja yang paling merasakan nikmatnya kebahagiaan itu adalah ibuku. Bertahun-tahun ibu telah sendiri tanpa teman hidup di sampingnya yang menemani ibu dalam suka dan duka, yang memberi semangat setiap waktunya.
Aku sangat bersyukur hari ini ibu akan meninggalkan status yang sudah lima belas tahun ini mengiringinya. Setelah bercerai dengan ayah, hari ini ibu akan memulai hidup baru dengan seorang laki-laki yang sangat mencintai ibu dan berjanji akan memberikan kebahaiaan untuk ibu.
Aku  akan pergi ke Bogor dan menetap di sana bersama Kak Nadya dan Kak Ilham. Mereka berdua adalah anak-anaknya Ayah Adam dari pernikahannya tetrdahulu. Di sana aku akan melanjutkan kembali sekolahku yang sempat terhenti karena tanggungjawabku menghafal Al Qur’an.
 ‘Penghafal Al Qur’an adalah panji-panji Islam
Firman Allah itulah Al Qur’an
Ahli Al Qur’an adalah ahli Allah
Pembenci Al Qur’an adalah musuh Allah
Tiada seorangpun yang membaca Al Qur’an
Melainkan orang Islam yang beriman
Qur’an kita dari mu’jizat Nabi Muhammad, manusia pilihan
Keagungannya berguna atas ummat sepanjang masa
Bahagia bagi penghafal, dunia akhirat selamanya
Betapa tidak! Bila meninggal jasadnya takkan binasa
Banyak orang yang menghafal Al Qur’an
Hindarkanlah! Al Qur’an itu justru melaknatnya
Sebaik-baik manusia itu yang belajar Al Qur’an
Dengarkanlah! Bacalah Al Qur’an manakala berduka
Karena Al Qur’an itu obat penyembuh hati yang luka
Barang siapa yang membaca Al Qur’an,
Allah akan memuliakannya
Mudah-mudahan kamu, termasuk pemberi kabar gembira
Dan pemberi peringatan’

Begitu besar tanggungjawab penghafal Al Qur’an. Karena jika dia melupakan Al Qur’an, berdosalah dia dan Al Qur’an akan melaknatnya. Namun, betapa besarnya kebahagiaan yang akan dia peroleh jika dia selalu menjaga Al Qur’an dalam hati, pikiran, dan kalbunya. Sungguh beruntungnya manusia yang dipilih Allah untuk mengemban tanggungjawab besar itu. Karena ni’mat, anugrah, dan kasih sayang Allah yang akan dia dapat.
“Qobiltu nikahaha wa tazwijaha linafsi bi mahril madzkur haalan!”
 “Alhamdulillah, ya Allah.”
^_^
Tujuh hari setelah hari yang penuh air mata, aku dan dua kakak baruku bersiap-siap untuk perjalanan ke Bogor. Kita hanya pergi bertiga karena Ayah dan Ibuku akan menetap di Jawa Tengah.
“Fi, kamu udah siap belum?” tanya Kak Nadya.
“Iya, udah, Kak.” Aku jadi geli sendiri. Bahasa Indonesiaku lancar, tapi logatku masih Jawa. Syukurlah Kak Nadya dan Kak Ilham tidak pernah mentertawaiku. Setidaknya aku belum pernah mendapati mereka tertawa di depanku.
“Yang bagus di Bogor, jangan lupa Qur’annya. Sholatnya jangan ditinggal,” nasihat Kakekku membuat aku meneteskan air mata.
“Insya  Allah,”
Aku beruntung menjadi cucu pertama Kakekku. Aku bersyukur bisa merasakan kasih sayang Kakekku yang masih segar bugar. Hampir setiap sore aku diajak jalan-jalan, di gendong, dan masih banyak lagi. Sekarang Kakek semakin tua dan pastinya sudah 

tidak kuasa lagi menggendongku. Dari semua cucu-cucu Kakek, mungkin hanya aku yang pernah merasakannya. Sepupu-sepupuku yang lahir setelah aku, tidak seberuntung aku. Karena Kakek semakin tua dan tentu saja kekuatannya tidak seperti dulu. Jadi, Kakek sudah tidak kuat lagi untuk menggendong atau memanjakan cucu-cucu Kakek yang lain seperti memanjakan aku.
 “Kamu kalau nyetir hati-hati.  Jangan ngebut. Pelan-pelan saja.” Kakek menghimbau Kak Ilham. Padahal yang akan menyetir bukan hanya Kak Ilham, tapi bergantian dengan Kak Nadya. Perjalanan pagi sampai sore, Kak Nadya yang menyetir. Sedangkan malam hari akan menjadi bagiannya Kak Ilham.
Kak Ilham tersenyum dan mengangguk, “Saya bukan supir yang ugal-ugalan, Kek. Jadi Kakek tenang saja, Insya Allah Nafika dan Kak Nadya akan sampai sampai tujuan.”
Kakek dan orang-orang yang mengantar kepergian kami tertawa menanggapi pernyataan Kak Ilham.
“Ya udah. Kakek, Ayah, Ibu, dan semuanya. Nadya, Ilham, dan Nafka pamit ke Bogor. Kami minta doanya semoga kami selamat sampai ke Bogor, tidak ada masalah dan halangan di tengah jalan.”
“Pasti, pasti. Ayah akan mendoakan kalian selalu.”
 “Kalau butuh sesuat bilang sama Ibu,” ujar Ibu
“Assalamu’alaikum…”
“Wa’alaikumussalam…” jawab keluargaku serentak dengan melambaikan tangan.
^_^
Bogor masih sekitar tiga jam lagi. Cukup lama dari perkiraan perjalanan. Kak Nadya menuruti nasehat Kakek untuk mengendarai mobil secara pelan-pelan. Sampai-sampai Kak Ilham tidak sabar dan meminta untuk bergantian menyetir mobil.
“Kak! Ayolah…! Cepet dikit! Kalau jalannya kayak gini, dua hari kita baru nyampek Bogor!”
Kak Nadya tertawa kecil, “Udah! Lo tidur ja! Entar, bangun-bangun kita udah nyampek rumah.”
“Gantian gue yang nyetir gih!” tukas Kak Ilham sembari menghadap Kak Nadya.
“Ilham, Sayang! Kamu bobok aja, ya? Nanti habis sholat maghrib, gantian kamu yang nyetir. Oke?”
Aku yang sedari tadi setengah sadar mendengar perbincangan mereka berdua, kembali melanjutkan tidurku yang sudah terganggu sepersekian menit. Samar-samar masih kudengar suara musik dari radio mobil. Sebuah lagu cinta dari Band pendatang baru yang sekarang ini sedang meledak di pasaran.
“Senyummu selalu terbayang
Menghiasi hari-hari penuh luka
Tak terbayang bila tak ada dirimu
Berjanji ku kan bahagiakanmu
Ho… Ho… Hooo…
Percayakan hatimu padaku
Tak akan kubuat luka hatimu
Ketulusan hatiku berkata
Kau cinta pertama dan terakhir…”
Suara merdu vokalis Band Cisia yang singkatan dari Cinta Indonesia ini mengantarku sampai alam mimpi.
“Kak Nadya?” Aku terjaga dari tidur nyenyakku.
“Kita sudah sampai di rumah. Ayo, bangun!”
Aku melihat-lihat keadaan dari kaca mobil. Yang bisa kulihat hanya rumah-rumah mewah yang tertata rapi dengan taman-taman yang sangat indah. Sekarang aku berada di Bogor dan akan menempati sebuah rumah yang berada di kawasan yang cukup elit.
 “Terimakasih, Pak Ali.”
Pak Ali adalah satpam rumah yang membantuku membawa koper dan barang-barangku yang lain.
“Sama-sama, Mbak.” Pak Ali tersenyum dan pamit untuk kembali bertugas menjaga rumah.
Aku tutup pintu kamar dan langsung menjatuhkan tubuhku pada kasur yang sangat empuk sampai kembali memejamkan mata.
“Pagi, Ka. Semalam tidur nyenyak?” sapa Kak Ilham yang berada di dapur dan menawarkan segelas susu sapi segar dari dalam kulkas.
“Nyenyak banget! Sampai bangun jam enam.”
Kak Ilham memberikan gelas berisi penuh susu sapi dan meletakkannya di meja makan.
“Kamu nggak sholat shubuh?”

 
“Oh, aku masih haidl.”
 “Haidl? Apa itu Haidl?”
“Haidl itu menstruasi. Dari bahasa Arab.”
“Oh…” Kak Ilham mengangguk-angguk dan tersenyum tipis.
 “Ka! Lusa kamu mulai belajar sama guru privat yang udah ayah cariin buat kamu. Buku-buku dari SMP kelas tujuh, delapan, sembilan sampai SMA kelas sepuluh, sebelas, dua belas, udah dipesen juga. Mungkin besok udah nyampek rumah. Kamu udah siap, kan?” ujar Kak Nadya yang sudah berada di belakangku.
“Insya Allah, siap!”
^_^
“Nama saya Kirana. Kamu bisa manggil saya Mbak Kira.”
Guru privat yang akan mengajariku mata pelajaran dari SMP sampai SMA datang tepat pada waktunya. Mbak Kira akan menjadi guruku selama dua bulan penuh. Jadwal belajar selama lima jam setiap hari dari pukul delapan pagi sampai pukul satu siang.
Ayah Adam mencarikan aku seorang guru privat untuk memudahkanku mengikuti setiap pelajaran di SMA nanti.
“Nama saya Nafika,”
Setelah sekian tahun aku tidak lagi bergelut dengan dunia pendidikan formal, mulai hari ini aku harus pandai-pandai mengatur waktu untuk belajar dan mengaji Al Qur’an. Aku tidak ingin kerja keras bertahun-tahun yang lalu dalam menghafalkan Al Qur’an terbuang sia-sia hanya karena aku sibuk dengan kegiatan baruku. Dan aku juga tidak ingin menjadi seorang manusia yang merugi. Seperti sabda Nabi Muhammad SAW :
“Berpegang eratlah kamu sekalian dengan Al-Qur’an demi Dzat yang jiwa Muhammad di tangan Nya, sungguh ia lebih mudah hilang daripada unta yang ditambatnya.” (Muslim II/192)
“Dan ditampakkan kepadaku dosa umatku, maka aku tidak melihat dosa yang paling besar dari surat atau ayat Al-Qur’an yang telah diberikannya kemudian ia melupakannya.” (At-Tirmidzi V/179)
“Oke, Fika. Ini hari terakhir saya mengajar kamu. Dua bulan ini kamu sudah sangat baik. Kamu cepet menyerap pelajaran yang Mbak Kira ajarin ke kamu. Yang harus kamu pelajari terus menerus adalah Matematika dan Kimia. Secara rata-rata nilai dua pelajaran itu, dibawah tujuh. Jadi kamu harus giat belajar. Semuanya masih harus kamu pelajari. Jadi jangan malas-malasan!” ujar Mbak Kira di hari terakhirnya menjadi guru privat ku. Hari ini tepat dua bulan aku belajar dengan Mbak Kira. Lusa aku akan mengikuti ujian persamaan untuk kelas dua SMA.
“Mbak Kira minta maaf kalau selama dua bulan ini pernah ada salah sama kamu. Dan Mbak juga berterima kasih kamu mau Mbak ajari.”
“Fika juga sama, Mbak. Minta maaf beribu maaf kalau Fika sering buat Mbak jengkel dengan ketidaktahuan Fika tentang pelajaran-pelajaran yang Mbak ajarkan. Dan Fika juga ngucapin terimakasih yang sebesar-besarnya karena Mbak Kira bersedia menjadi guru Fika,”
^_^
 “Ini adik kamu, Ham?” tanya Kepala Sekolah SMA 114. Namanya Pak Khalid. Pak Khalid mempunyai kumis yang tebal.
“Iya, Pak.”
“Nafika,” Pak Khalid tersenyum ramah. “Selamat datang di SMA 114. Mulai hari ini kamu adalah siswi di sini. Patuhi peraturan sekolah dan bawa nama baik sekolah dimanapun kamu berada.”
Pak Khalid mengulurkan tangannya kepadaku yang segera aku balas dengan menangkupkan kedua tanganku di depan dada. Aku tidak mungkin menjabat uluran tangan Pak Khalid.
Untuk bersentuhan dengan Kak Ilham saja, aku belum pernah. Karena secara hukum Islam, Kak Ilham tetap bukan mahromku walaupun Ayah Kak Ilham dan Ibuku sudah menjadi sepasang suami istri.
Pak Khalid sendiri mengerti dan ikut menangkupkan kedua tangannya di depan dada.
Seorang Ibu mengantarkan pesananku dan Kak Ilham. “Ini siapa Mas Ilham?” Ibu itu bertanya.
“Ini Nafika, adik saya. Mulai hari ini dia sekolah disini.”
Aku mengulurkan tanganku. Ibu itu bernama Bu Siti. Beliau yang berjualan di kantin sekolah sejak sepuluh tahun yang lalu. Umurnya sekarang sudah mencapai enam puluh tahun.
“Selamat datang, Mbak Nafika.” ujar Bu Siti.
“Terima kasih, Bu,”
Kantin menjadi semakin ramai. Sekarang ini memang jam istirahat, jadi banyak siswa-siswi yang mampir ke kantin untuk sarapan pagi bagi yang belum sempat sarapan di rumah, atau sekedar duduk-duduk ngegosip bersama.
“Ka! Lihat, deh!”
Kak Ilham mengarahkan matanya ke seseorang siswa laki-laki.
“Subhanallah…” ujarku dari dalam hati.
 “Kenapa, Ka?” tanya Kak Ilham. “Nggak usah kaget gitu! Dia emang ganteng, keren, cakep, perfect, deh! Tapi biasa aja, napa!” sindir Kak Ilham.
“Nggak ada manusia yang pantas disebut sempurna di dunia ini kecuali Rosulullah,”
Kak Ilham mengacungkan dua jempolnya sebagai tanda setuju. “Namanya Hasan. Dia sekelas sama Kakak. Dia ganteng…, tapi nggak ada cewek-cewek yang mau sama dia.” kata Kak Ilham.
“Kenapa?”
Kak Ilham menarik napas. “Hasan bisa sekolah disini karena dapat beasiswa. Kakek dan adiknya emang tinggal di luar negeri, tapi denger-denger mereka tuna wisma. Bahasa kasarnya, gelandangan gitu.”
“Kak Ilham serius?”
Kak Ilham menganggukkan kepalanya. “Satu lagi. Ayahnya meninggal dan Ibunya…, di vonis masuk penjara seumur hidup!”
“Kok, bisa???”
 “Ibunya yang membunuh Ayahnya, dan pengedar narkoba kelas kakap. Hasan cerita, sewaktu membunuh Ayahnya, Ibunya mabuk berat!”
“Astaghfirullah…” ujarku.
 “Kamu…, setelah mendengar cerita Kakak, malu nggak kalau seandainya beteman dengan Hasan?”
“Kenapa harus malu?”
“Banyak cewek-cewek di sekolah ini yang menjauh dari Hasan. Alasannya seh, macem-macem. Ada yang nggak bilang nggak mau berteman sama anak seorang pembunuh, ada yang bilang karena dia bukan cowok tajir, dan banyak alasan yang menurut Kakak nggak masuk akal!”
^_^
Teman satu bangkuku bernama Salsabila, yang akrab dipanggil Salsa. Dia sama dengan Hasan. Memperoleh kesempatan bersekolah disini karena mendapat beasiswa.
Orangtua Salsa bukan orang yang berada. Ayahnya seorang kuli bangunan, sedangkan ibunya berjualan nasi pecel keliling. Tetapi, Salsa murid yang sangat cerdas dan rajin. Selama SMP sampai SMA kelas dua sekarang, Salsa selalu menjadi juara kelas. Banyak pula guru-guru yang menyayanginya. Teman-teman sekolah juga banyak yang menyukai Salsa. Laki-laki, perempuan, semua menganggap Salsa adalah teman yang baik, mudah bergaul, dan pengertian. Orangnya juga asyik dan nyambung diajak bicara.
 “Nanti siang setelah sekolah selesai ada acara di musholla sekolah. Kamu ikut, kan, Fik?” tanya Salsa. Dia memang belum menjadi wanita muslimah berjilbab, namun untuk menghadiri acara-acara keagamaan yang diadakan sekolah, Salsa tidak mau ketinggalan. “Pembicaranya Ustadz Mahdi. Beliau Ustadz yang menjadi langganan sekolah kita ini. Kamu tahu kenapa?”
Aku menggeleng dengan seulas senyum.
“Karena…, Ustadz Mahdi cakep! Masih muda, single lagi!” Salsa tertawa melihatku melotot keheranan. “Jadi, kamu mau ikut, kan?” tanya Salsa memastikan.
“Iya, ya! Insya Allah aku ikut.” Jawabku. Salsa merangkul bahuku sembari tersenyum genit. “Emang, temanya apa?” Aku balik bertanya.
Salsa melepaskan pelukannya dan mengambil sebuah kitab dari dalam tasnya. “Tema hari ini, tentang fardlu wudlu.”
“Assalamu’alaikum warohmatullahi wabarokaatuh…” Ustadz Mahdi membuka pengajian siang ini.
“Wa’alaikumussalam warohmatullahi wabarokaatuh…”
“Hari ini kita akan membahas tentang fardlunya wudlu.” Ustadz Mahdi membuka kitabnya. “Ada berapa fardlunya wudlu?” Ustadz Mahdi bertanya. Lebih tepatnya menguji pengetahuan kami.
“6…” jawabku dan beberapa murid lain.
“Ya! Tepat sekali.” Ustadz Mahdi membenarkan jawaban kami.
Ustadz Mahdi lantas menerangkan apa saja fardlunya wudlu, “Yang pertama adalah niat bersuci untuk melakukan sholat di

dalam hati. Atau niat yang lainnya yang diperbolehkan. Sedangkan niat itu bersamaan dengan membasuh wajah.
Yang kedua, membasuh wajah seluruhnya. Yaitu mulai dari tempat tumbuhnya rambut sampai dagu. Dan dari telinga satu ke telinga yang lain. Adapun yang wajib dibasuh itu adalah kulit dan rambutnya. Tidak wajib membasuh bathinnya jenggontnya laki-laki, dan jambang apabila tebal.
Fardlu wudlu yang ketiga, membasuh kedua tangan sampai siku-siku dan sesuatu yang ada diatasnya.” Ustadz Mahdi mengarahkan pandangannya ke murid-murid yang beberapa ada yang serius mencatat keterangan dari beliau dan beberapa ada yang sibuk memandangi sang Ustadz keren.
“Selanjutnya yang keempat adalah mengusap kepala atau sebagiannya. Walaupun hanya sehelai rambut. Kelima, Membasuh kedua kaki sampai mata kaki. Atau mengusap muzah apabila sudah memenuhi syarat”.
Ustadz Mahdi menutup bukunya yang sedari tadi beliau menulis sesuatu didalamnya.
“Dan yang terakhir, tertib.”
Ustadz Mahdi memperbaiki letak duduknya.Murid-murid yang kelelahan juga mulai bergerak dan merenggangkan otot-otot yang pegal.
 “Fardlu sholat disini berlaku untuk sholat fardlu ataupun sholat sunah. Jadi, kalau kita akan mengerjakan sholat, terlebih dahulu kita berwudlu dan harus memenuhi fardlunya wudlu.
Fardlu wudlu yang pertama niat. Segala sesuatu tergantung niatnya, dan niat itu letaknya di dalam hati. Kalau hanya diucapkan di lisan, itu sunnah. Boleh jika kita hanya berniat seperti ini…”
Ustadz Mahdi melafalkan niat berwudlu. “Nawaytul wudlua fardlollillahi ta’aalaa”.
Beliau melanjutkan keterangannya. “Jika niat berwudlu tidak dilakukan bersamaan dengan permulaan membasuh wajah, maka wudlunya tidak sah.
Membasuh wajah dari mulai tumbuhnya rambut sampai dagu. Atas ke bawah. Lalu kanan ke kiri atau dari telinga kanan ke telinga kiri. Semuanya harus terkena air. Namun, diberi kemudahan bagi yang mempunyai jenggot atau jambang yang tebal. Hanya diwajibkan membasuh dzohirnya, bagian yang tampak. Dan disunnahkan untuk menyeka-nyekanya.
Ketebalan jenggot dan jambang apabila dilihat dari depan, tidak terlihat kulit wajahnya.
Membasuh tangan. Semua yang ada diatasnya, adalah bulu juga kuku-kuku. Penjelasan fardlu wudlu yang keempat adalah mengusap kepala atau sebagiannya. Disini yang dimaksud adalah mengusap rambut. Ada yang berpendapat bahwa mengusap rambut harus ada tiga helai , tidak cukup jika hanya satu helai rambut yang diusap. Pendapat ini sesuai dengan memotong rambut ketika ihrom yang harus ada tiga helai. Rambut yang wajib terkena basuhan adalah rambut yang masih berada dalam batas kepala. Tidak diperbolehkan membasuh rambut yang melambai di luar batas kepala. Jadi, untuk Ukhti-ukhti yang berambut panjang, rambut yang harus terkena air adalah yang masih menempel pada kulit kepala. Faham, semuanya?”
“Faham, Ustadz...,”
“Yang kelima, membasuh kedua kaki. Batasnya sampai mata kaki. Jika ada seseorang yang cacat kakinya, maka cukup membasuh yang ada. Sedangkan muzah adalah semacam alas kaki yang biasa digunakan orang jaman dulu.
Terakhir adalah tertib. Tidak boleh mengusap kedua kaki menjadi urutan pertama. Semuanya harus urut. Dimulai dari niat, lalu membasuh wajah, membasuh kedua tangan, mengusap kepala, dan yang terakhir membasuh kedua kaki.”
Ustadz Mahdi menutup kitab dan bukunya. “Ada yang mau bertanya?”
“Saya, Ustadz!” Gita yang duduk di barisan depan mengacungkan jarinya. “Emm…, Kalau kita wudlu terus bersentuhan sama lawan jenis, gimana, Ustadz?” tanya Gita dengan aksen centinya. “Padahal bersentuhnya itu tidak disengaja. Apa tetep harus wudlu lagi?”
Ustadz Mahdi tersenyum. Beliau mengedarkan pandangannya ke seluruh murid. “Ada yang tahu jawaban dari pertanyaan Gita?” Ustadz Mahdi suka sekali menguji pengetahuan kami.
“Ustadz…” Hasan meminta ijin untuk memberikan jawaban dari pertanyaan Gita. Ustadz Hamid mempersilahkannya berdiri.
“Bersentuhan kulit antara laki-laki dan perempuan yang bukan mahromnya serta sama-sama besar adalah membatalkan wudlu. Secara sengaja ataupun tidak sengaja. Yang tidak membatalkan apabila ragu-ragu atau tidak yakin bersentuhan.”
Hasan kembali duduk.
 “Terimakasih, Hasan.” Ustadz Mahdi kembali melontarkan pertanyaan untuk kami, “Ada yang ingin menambahkan penjelasan dari Hasan?”
Sesaat hening. Ustadz Mahdi membiarkan kami yang diam dan tidak ada salah satu dari kami yang mengangkat tangan. 

Walaupun sebenarnya, aku punya penjelasan lain yang dipertanyakan Ustadz Mahdi.
“Siapa yang menyembunyikan ilmu, kelak di hari kiamat Allah akan melucutinya dengan cambuk api!”
Salsa mengangkat tangan dan lansung berdiri. “Saya minta maaf. Saya kelamaan mencari catatan tentang bab fardlu wudlu ini.” ujarnya. “Jadi, selain keterangan yang dijelaskan Akhi Hasan tadi, saya ingin menambahkan bahwa yang termasuk membatalkan wudlu adalah bersentuhan dengan bulu kumis dan bibir. Sedangkan yang tidak membatalkan wudlu adalah bersentuhan dengan kuku dan gigi.” Salsa menarik nafas dalam dan menatapku sejenak. Aku membalasnya dengan senyum.
“Tidak membatalkan wudlu jika bersentuhan dengan anak kecil yang tidak mensyahwati. Menurut Syeh Abdu Hamid, tidak membatalkan wudlu apabila anak kecil itu masih berumur empat tahun, sedangkan bila anak kecil itu sudah berumur tujuh tahun, itu sudah membatalkan wudlu. Akan tetapi, semua dikembalikan pada pribadi masing-masing. Bila menyentuh anak kecil dibawah tujuh tahun sudah merasakan syahwat, maka itu membatalkan wudlu.” Salsa menyelesaikan penjelasannya dan Ustadz Hamid menyuruhnya duduk.
“Terima kasih, Sa.” Ujar Ustadz Mahdi.
Merasa tidak ada yang akan bertanya lagi, Ustadz Mahdi menutup pengajian siang ini. “Baik. Sekarang sudah memasuki waktu sholat ‘ashar. Sebaiknya kita sholat berjama’ah dulu.” Kata Ustadz Mahdi. “Sebelum dan sesudahnya Ana meminta maaf apabila dalam menyampaikan ilmu di siang hari ini belum memberi kepuasan untuk antum. Assalamu’alaikum warohmatullahi wabarokaatuh…”
“Wa’alaikumussalam warohmatullahi wabarokaatuh…”
Hampir semua siswa-siswi mengikuti ajakan Ustadz Mahdi untuk melakukan sholat ‘ashar berjama’ah. Aku melihat Kak Ilham juga akan melakukan sholat ‘ashar disini. Begitupun aku dan Salsa.
“Sa…, Aku minta maaf, ya?”
“Udah, nggak usah dipikirin. Aku tau kok, kenapa kamu nyuruh aku yang menjelaskan batal tidaknya wudlu tadi.”
“Kamu tau, Sa?”
“Kamu nggak mau dibilang murid baru yang sok pinter, kan?”
Aku tersenyum. “Ya, kamu bener.”
“Salsa gitu, loh!”
^_^
Malam minggu kelabu bagi muda-mudi yang tengah asyik berpacaran. Aku senyum-senyum sendiri membayangkan pasangan kekasih yang sedang asyik berciuman, merayu pasangannya, tiba-tiba harus lari tunggang langgang mencari tempat berteduh untuk berlindung dari hujan lebat yang tiba-tiba mengguyur kota Bogor.
Hujan-hujan seperti ini paling enak berada di rumah sembari makan mie rebus dan dilengkapi dengan teh manis hangat.
“Makan apa, Ka?”
“Eh, Kak Ilham. Makan mie rebus neh! Laper!” jawabku. “Kak Ilham mau, nggak?”
Kak Ilham duduk di ruang tengah membawa secarik kertas. “Oh, nggak usah. Makasih…, Kak Ilham masih kenyang.”
Jam menunjukkan pukul setengah dua belas. Tidak ada salahnya aku menemani Kak Ilham sebentar. “Kak Ilham kenapa nggak tidur?”
Kak Ilham mengangkat mukanya. “Belum ngantuk.” Jawabnya singkat. “Kamu sendiri, kenapa juga belum tidur?”
“Belum ngantuk,”
Kak Ilham lantas mengajakku ngobrol. Dia bertanya tentang hukumnya orang yang berpacaran.
“Setahu aku, pacaran itu mendekati zina dan hukumnya haram.”
“Gitu, ya?”
“He’eh. Jangankan pacaran, kalau kita berpandangan dengan lawan jenis setelah pandangan pertama aja, kita udah kena anak panah iblis! Jadi, pandangan pertama atau yang tidak disengaja itu dimaafkan. Tapi kalau kita sudah mengdipkan mata lalu berpandangan lagi dengan sengaja, berarti iblis sudah berhasil memanah kita,”
“Seandainya kamu ada yang nembak, kamu mau nerima dia ngga?” tanya Kak Ilham.
“Insya Allah, ngga.”
“Kenapa?”
“Aku punya prinsip kalau aku ingin berpacaran dengan suamiku kelak. Jadi, aku tetep bisa merasakan pacaran dan bermesra-mesraan, tapi dengan orang yang sudah halal untukku. Insya Allah pahala yang aku dan suamiku dapat, bukannya dosa dan laknat.  

Juga, menurutku lebih romantis kayak gitu.”
“Maksudnya?”
“Untuk pertama kalinya bermesraan, aku melakukannya dengan laki-laki yang sudah halal bagiku. Romantis, kan?”
^_^
Di kantin masih sepi. Hanya ada aku, Kak Ilham, bu Siti, dua cewek anak kelas satu, dan tiga cowok anak kelas tiga. Dua adik kelasku duduk di meja yang bersebelahan dengan meja yang aku tempati dengan Kak Ilham.
 “Assalamu’alaikum..., Ham, Ka.”
Seseorang mengucapkan salam kepadaku dan Kak Ilham.
“Wa’alaikumussalam…” jawab Kak Ilham. Aku menjawab dengan suara pelan. “Hai, San!” Kak Ilham menyapanya.
Aku tidak tahu mengapa! Aku jadi berdebar-debar melihat Hasan ada didekatku. Tubuhku gemetaran!Mulutku seakan terkunci! Aku bahkan tidak sanggup menggerakkan tubuhku! Aku tak kuasa mengangkat kepalaku! Aku belum pernah merasakan saat-saat ini dalam hidupku!
“Fika!”
Kak Ilham menyadarkanku dari lamunanku.
“Kamu kenapa? Kayak abis liat setan!”
“Ah! Masak seh?” Aku mencoba bersikap normal.
Ternyata Hasan sudah tidak ada disebelah Kak Ilham.
Kak Ilham mengisyaratkan aku untuk mendekat. “Nafika…, Kamu…, Fall in love.”
Aku tertegun mendengar Kak Ilham mengatakan aku sedang jatuh cinta. “Jatuh cinta? Sama siapa?” nada suaraku agak bergetar.
Kak Ilham tersenyum menggoda. Sengaja membuatku semakin penasaran. “HASAN ALHABSYI!”
Hasan??? Aku jatuh cinta??? Benarkakh itu???
Aku mencoba mengelaknya. Namun, Kak Ilham telah meninggalkanku sendiri memikirkan masalah hati yang kini menimpaku.
“Ka…” Salsa melambaikan tangannya. Dia sepertinya membawa suatu kabar.
“Kamu tau, nggak?” tanyanya ketika sudah berada disampingku.
“Nggak.”
“Lusa, akan ada tes untuk pengajiannya Ustadz Mahdi.”
“Oya?”
“Iya! Ada tiga bab yang akan dijadikan bahan ujian. Fardlu wudlu yang kemarin, perkara yang membatalkan wudlu, sama bab istinja’. Nggak ada kewajiban buat ikut tes. Mau ikut Alhamdulillah, nggak ikut juga nggak apa-apa.” Kata Salsa bersemangat.
“Enak banget!”
“Kamu ikut, ya? Kamu emang baru sekali sih, ikut pengajiannya, tapi, kamu kan, udah pinter. Mau, ya? Temani aku?” Salsa mengajakku ikut tes.
Aku menatap mata Salsa yang mengharapkan sekali aku ikut tes menemani dia.
“Ok! Aku ikut.”
Salsa tersenyum ceria.
“Ka, kita daftar sekarang atau nanti?”
“Nanti aja, deh! Bentar lagi bel masuk.”
^_^
Hari ini jadwalnya tes pengajiannya Ustadz Mahdi berlangsung. Aku baru tahu kalau yang mengusulkan diadakannya ujian ini adalah Kak Ilham dan Hasan.
“Kamu sudah siap, Ka?” tanya Salsa. Dia kelihatan agak gugup.
“Alhamdulillah, sudah. Kamu?”
“E…, iya! Udah-udah.”
Ada tiga puluh orang yang ikut ujian. Ini diatas perkiraan Kak Ilham yang mengira hanya belasan orang yang tertarik mengikuti ujian. Tapi, satu prediksi Kak Ilham ada yang tepat. Peserta ceweknya nggak lebih dari sepuluh orang. Dua diantaranya aku dan Salsa.
“Assalamu’alaikum, Ukhti…”

“Wa’alaikumussalam,”
“Saya minta tolong, Ukhti Nafika membagikan kertas soal-soal ujian ini untuk peserta akhwat yang lain. Ngga apa-apa, kan?”
“Oh! Ngga, ngga apa-apa,” Aku meraih lima kertas yang disodorkan Hasan.
“Syukron, Ukhti.”
Aku mengangguk saja.
Segera kubagikan kertas soal-soal tadi kepada peserta ujian. Cukup banyak soal yang tertera di kertas itu. Ada tiga puluh lima soal yang harus kami selesaikan dalam waktu satu jam tiga puluh menit.
“Baca Basmalah dulu sebelum mengerjakannya.” Ujar Ustadz Mahdi.

1. Ada berapakah perkara yang membatalkan wudlu? Sebutkan 3!
2. Bagaimana hukumnya jika laki-laki dan perempuan yang sama-sama besar bukan mahrom bersentuhan ketika mereka dalam keadaan mempunyai wudlu?
3. Ada berapakah fardlunya wudlu? Sebutkan tiga saja!
4. Kapankah niat berwudlu itu?
5. Wajib membasuh wajah mulai dari …
……………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………….
Waktu yang diberikan telah habis. Salsa mengumpulkan kertas-kertas ujian kami para akhwat.
“Gimana, Ka? Gampang atau susah soalnya?” tanya Kak Ilham yang menyusulku ke kantin.
“Gampang atau susah, Alhamdulillah nggak ada yang kosong.”
“Siapa seh, yang buat soal-soalnya? Banyak banget!” gerutu Salsa.
Kak Ilham melempari Salsa dengan kacang polong. “Ustadz Mahdi sendiri yang buat soal-soal itu!”
Kak Ilham melihat Hasan yang sedang memesan makanan dan mengajaknya bergabung dengan kami.
Hasan dan Kak Ilham lantas asyik mengobrol. Sedangkan aku mendengarkan ‘curhatan’ Salsa tentang seorang cowok yang baru saja nembak dia. Cowok ini adalah cowok ke lima yang sudah menyatakan cintanya pada Salsa.
“Namanya Fahmi. Dia temennya kakakku. Terima nggak, ya?”
“Menurut pandangan kamu dia gimana?”
Salsa menggaruk kepalanya walaupun sebenarnya dia tidak merasa gatal. “Fahmi itu cakep, cool, pinter, sopan, simple, baik…banget!”
“Menurut aku, lebih baik kalian jadi teman aja. Kalau waktunya tepat dan, kalian sudah saling cinta, cocok dari pihak keluarga dan kaliannya sendiri, langsung nikah,”
Sekejapan aku merasa Hasan menatapku.
“Lho! Kenapa?”
Kutatap mata Salsa serius. “Pacaran itu haram. Kamu udah tau itu, kan?”
Salsa terlihat kecewa dengan saranku. “Tapi…” Salsa menundukkan kepalanya. “Gimana kalau aku dan Fahmi pacaran, tapi nggak pake’ pegang-pegangan, ciuman, berdua-duaan. Gimana?”
“Gimana dengan hati kamu? Hati Fahmi?”
“Kenapa dengan hatiku dan Fahmi?” tanyanya bingung.
“Setan bisa menggoda kita lewat mana saja. Dari tangan, bibir, kaki, bahkan dari hati. Justru hati sangat berbahaya jika kita tidak menjaganya! Gimana kalau kamu sedang kangen sama dia?” tanyaku. “Kamu akan mikirin dia terus! Lalu kamu lupa sholat, atau bisa jadi kamu nggak lupa sholat, tapi yang terbayang cuma Fahmi di dalam sholat kamu. Lupa belajar juga, lupa makan, dan lupa kegiatan kamu yang lainnya. Gimana?”
Aku bingung melihat Salsa meneteskan air mata. Kak Ilham dan Hasan ikut bertanya kenapa Salsa menangis. Salsa menatapku dalam dan tersenyum.
“Makasih, Ka!”
Aku tidak mengerti maksud Salsa. Dia begitu saja berlari setelah mengucapkan terima kasih. Untuk apa dia lari? Untuk apa terima kasih itu?
“Apa omonganku tadi salah?” tanyaku pada Kak Ilham.
“Dia butuh waktu untuk sendiri.” Katanya menghiburku.

Kutengok arloji di tanganku. Sudah hampir jam setengah empat. Tapi, tidak juga kulihat taksi lewat di depan sekolah. Semestinya, aku pulang dengan Kak Ilham. Tapi, kebetulan dia ada urusan dengan Pak Kepsek, jadilah aku disuruh naik taksi. Lama juga aku menunggu taksi lewat. Dari jam setengah tiga sampai setengah empat kurang sepuluh menit.
Dari pada menunggu sesuatu yang tidak pasti seperti ini, aku memutuskan untuk mengerjakan sholat ashar di masjid sekolah.
“Assalamu’alaikum,”
“Wa’alaikumussalam..., Akh Hasan.” Jawabku cukup santai. Aku tidak mau terbawa hawa nafsuku. Apalagi sekarang aku berada di dalam rumah Allah. “Akhi mau sholat ‘ashar?”
“Na’am,”
Akhirnya kami sholat ‘ashar berjama’ah. Hasan menjadi imam yang baik. Dia tidak terlampau cepat, juga tidak terlalu lama.
Hasan keluar masjid lebih dahulu. Mungkin dia terburu-buru kembali ke ruang KepSek. Maklumlah, selain Kak Ilham, Hasan juga diminta KepSek untuk membantu beliau. Setahu aku, Kak Ilham dan Hasan adalah murid-murid kesayangan Pak Khalid. Selain cerdas, mereka juga cekatan.
“Akh Hasan?” Aku melihat Hasan yang sedang duduk di teras masjid. “Kok disini?” tanyaku. “Bukannya, ada urusan sama Pak Khalid?”
Hasan berdiri dan menghampiriku. Sedikit ada rasa lain begitu dia berada di dekatku. “Urusan ana sama Pak Khalid sudah selesai. Beliau mengijinkan ana pulang.”
“Jadi, Kak Ilham juga udah selesai?”
“Ilham belum selesai. Dia masih dibutuhkan Pak Khalid.” jawabnya. “Ilham memberi ana amanat.”
“Amanat apa?”
“Ilham bilang, kalau Ukhti masih ada di sekolah, ana dimintai tolong untuk mengantar Ukhti pulang.”
Apa maksud Kak Ilham meminta Hasan mengantarku pulang? Aku harus bagaimana? Aku tolak niat baiknya mengantarku pulang atau aku pulang diantar Hasan?
Kak Ilham! Kamu membuatku dalam situasi yang sulit.
“Ukhti?”
“Ya?”
“Kita berangkat sekarang, Ukhti?” tanyanya. “Sepertinya akan turun hujan.” Dia memberiku sebuah helm.
Ya Allah! Semoga kami terlindungi dari fitnah.
Aku sebisa mungkin tidak terlalu dekat dengan Hasan. Di tengah-tengah antara aku dan Hasan, aku halang-halangi dengan tas sekolahku. Dari sekolah sampai rumah, aku tidak henti-hentinya membaca istighfar dan memejamkan mata. Aku tidak akan memanjakan rasa yang membuatku kalut ini. Aku sangat tidak ikhlas bila rasa ini tumbuh menjadi cinta yang tidak terbendung lagi. Karena aku ingin memiliki cinta yang suci. Cinta yang halal.
Hujan mulai turun ketika kami sudah sampai gerbang perumahan. Motor melaju lebih cepat. Secepat apapun motor melaju, aku dan Hasan tetap basah kuyup dibuatnya.
“Antum masuk dulu, ya?” ajakku. “Hujannya lebat! Bahaya kalau pulang sekarang.”
Hasan agak ragu-ragu dengan ajakanku. Aku tahu, Hasan tentunya keberatan bila hanya berduaan denganku di dalam rumah.
“Ada Kak Nadya, Mbok Ima, sama Pak Ali di rumah.”
Hasan akhirnya setuju untuk masuk rumah. Hujan terlalu lebat untuk dilawan.
“Silahkan duduk.” Aku persilahkan dia duduk di ruang tengah. Mbok Ima kuminta membuatkan teh hangat. Sedangkan aku naik ke lantai dua. Aku harus mengganti seragam sekolahku yang basah kuyup. Aku juga mengambilkan kaos dan celana jeans milik Kak Ilham untuk Hasan.
“Afwan, Akh. Ini punya Kak Ilham.” Aku menyodorkan kaos dan jeans. “Kamar mandinya ada di belakang.”
“Syukron, Ukh.”
“Sama-sama.”
Mbok Ima menghampiriku membawa satu piring pisang goreng yang masih panas. “Mas Hasan tambah cakep, ya, Non!”
Aku tertawa mendengar Mbok Ima yang mengeluarkan kegenitannya. “Mbok! Bisa aja.”
Mbok Ima ikut tertawa. “Dulu waktu masih kecil, Mas Hasan imut banget, lho, Non!”
Mbok Ima mulai bercerita macam-macam tentang Hasan. Ternyata Kak Ilham dan Hasan sudah berteman sejak berusia sepuluh tahun. Sejak dari SD sampai SMA, mereka selalu satu sekolah dan satu kelas. Kebersamaan mereka terjalin sangat erat. Kak

Ilham sudah menganggap Hasan seperti adiknya sendiri. Secara Hasan lebih muda tiga bulan dari Kak Ilham. Ayah Adam juga memperlakukan Hasan seperti anak sendiri. Kak Nadya juga menganggap Hasan sebagai adiknya.
“Mbok! Ka!” Kak Nadya memanggil Mbok Ima. “Tadi aku denger pada ngomongin Hasan, ya?” tanya Kak Nadya. “Hasan kesini?”
“Iya, Kak!” jawabku sembari menawarkan pisang goreng buatan Mbok Ima. “Tadi dia nganter aku pulang.”
“Oh! Sekarang dia dimana?”
“Di kamar mandi. Bajunya basah kuyup. Jadi, aku pinjamin kaosnya Kak Ilham.”
Kak Nadya menatapku aneh. Senyumnya menggoda seperti yang pernah diperlihatkan Kak Ilham tempo hari ketika mengatakan kalau aku jatuh cinta sama Hasan. “Kamu…, perhatian banget sama Hasan!”
Aku hanya tersenyum menanggapinya. Aku tidak boleh terlihat gugup atau kaget.
Hasan keluar dari kamar mandi. Seragam sekolahnya sudah diganti dengan kaos milik Kak Ilham. Kuakui, dia memang terlihat lebih cool dengan kaos biru tua dan jeans. Dan rambutnya yang masih basah… Astaghfirullah!
 “Hai, San!” sapa Kak Nadya. “Udah lama ngga mampir rumah?” Kak Nadya memberikan kantong plastik yang sudah aku siapkan untuk tempat seragamnya Hasan.
“Iya, Kak. Maklum lah, bantu Ibu cari uang,”
Begitu hujan reda, Ilham pamit untuk segera pulang. Kak Nadya yang memaksanya untuk makan malam di rumah pun ditolaknya halus.
Hari berganti hari, minggu berganti minggu, bulan berganti bulan. Tak terkira waktu sangat cepat berlalu. Kini aku menginjak kelas tiga SMA. Kak Ilham dan Hasan telah meninggilkan seragam ‘putih abu-abu’. Mereka sekarang akan memasuki universitas. Kak Ilham berencana akan masuk di salah satu universitas di Jakarta. Sedangkan Hasan, sejak kelulusan, dia seakan menghilang bak ditelan bumi. Tak ada teman-temannya yang tahu kemana Hasan. Bahkan Kak Ilham sekalipun.
Desas-desus mengatakan kalau Hasan menjadi gelandangan di Ibu Kota. Ada juga yang bilang kalau Hasan bunuh diri karena depresi dengan keadaannya. Semua kabar itu aneh. Aku yakin Hasan tak mungkin menjadi gelandangan apalagi bunuh diri.
Salsa pun sejak hari dia marah, aku tak pernah melihat dia lagi. Saat aku konfirmasi ke KepSek, beliau bilang kalau Salsa pindah sekolah. Aku mencoba bertanya ke rumahnya, tapi sayang beribu sayang. Tetangganya bilang kalau Salsa dan keluarganya sudah pindah. Sebegitu marahnya Salsa sampai dia harus pindah rumah juga.
 “Apa ini, Kak?”
Kak Ilham memberikanku sebuah bingkisan kotak sebelum dia merantau ke Jakarta.
“Dari Hasan,”
Aku pun lantas membuka bingkisan itu. Secarik kertas aku raih dari dalam kotak.

    Ila ukhti,Nafika Zahra
    
    Ana uhibbuki....
    Hasan Alhabsyi :

“Untuk saudariku, Nafika Zahra. Aku mencintaimu. Hasan Alhabsyi. Ini maksudnya apa?” Aku meraih sebuah cincin perak putih yang berada di bawah kertas tadi.
“Hasan juga mencintai kamu. Dia ingin kamu menunggunya,”
“Menunggu? Untuk apa?” Aku semakin tak mengerti.
Kak Ilham menarik napas. “Sebenarnya dia ingin secepatnya berta’aruf sama kamu. Tapi Kak Ilham ngasih saran agar dia jadi orang yang sukses dulu. Kakak ngga ingin adik Kakak ini menikah dengan orang yang ngga bertanggungjawab. Sebenarnya Kakak yakin Hasan orang yang bertanggungjawab dan setia, tapi Kakak ingin dia juga tidak hanya bermodalkan cinta, tapi juga harus memberikan masa depan yang baik untuk kamu juga anak-anak kamu kelak. Kamu ngga marah, kan?”
Aku tersenyum.
Kak Ilham tidak menceritakan dimana Hasan sekarang. Akupun tak ingin bertanya. Biarlah keberadaan Hasan menjadi teka-teki sampai dia kembali.
Aku hanya tinggal berdua dengan Mbok Ima di Bogor. Kak Ilham ke Jakarta dan hanya satu bulan sekali dia pulang ke Bogor. Kak Nadya satu minggu sebelum Kak Ilham pergi, dia merantau ke Negeri kincir angin meneruskan S-2 nya disana.

Tahun terakhir di bangku SMA aku jalani dengan suka cita. Nilai akhirku pun memuaskan. Sebenarnya Ayah Adam ingin aku melanjutkan pendidikanku ke tingkat universitas. Tapi aku memutuskan untuk kembali ke kota kelahiranku dan mengamalkan ilmu yang aku dapat dari Bogor selama dua tahun terakhir.
Di kota asliku ini, aku mengajar pelajaran agama di sebuah Sekolah Dasar. Pekerjaan ini aku lakoni dengan sebaik mungkin. Aku ingin murid-muridku ini tidak hanya pintar mengerjakan tugas tertulis, tapi juga mempraktikannya di kehidupan sehari-hari.
“Ibu punya pacar ngga?” tanya seorang muridku. Anak SMP jaman sekarang kalau ngga punya pacar dibilangnya ‘kuper’.
“Ibu ngga punya,” Aku tersenyum.
“Emang kenapa, Bu? Pacaran kan enak,” Anak yang lain ikut bertanya.
“Dengerin Ibu ya,” Aku memperhatikan satu per satu anak didikku. “Pacaran itu ngga ada di dalam Islam. Itu haram. Sesuatu yang haram itu harus kita jauhi,”
Satu minggu lagi aku berusia dua puluh satu tahun. Sebenarnya aku ingin menikah di usia itu.
“Ka, gimana? Sudah ada yang kamu suka?”
Ayah Adam bertanya perihal beberapa foto laki-laki yang Ayah perlihatkan padaku. Ada banyak kenalan Ayah yang anaknya sudah dewasa, baik, bertanggungjawab, dan mapan. Tapi tak satupun dari mereka yang berhasil memikatku. Mungkinkah ini karena Hasan?
“Belum ada yang Fika sukai,”
Hari ini sangat cerah. Murid-muridku pun bermain riang gembira. Entah mengapa, rasanya sangat disayangkan kalau hari indah ini dilewatkan dengan biasa-biasa saja. Aku mengajak anak-anak didikku belajar di luar berbaur dengan alam. Meski mentari sangat bersemangat menghangatkan sinarnya, anak-anak tetap ceria.
“Bu Nafika, ada yang menunggu Ibu di pintu gerbang,” Satpam Sekolah memberitahuku.
Aku meninggalkan murid-muridku dan mengikuti Pak Satpam.
“Assalamu’alaikum...,” Seseorang mengucapkan salam.
Hasan!
“Wa’alaikumussalam...,” Aku terpaku dengan adanya Hasan di hadapanku.
“Kaifa haluk, ya Ukhti?”
“Alhamdulillah. Akh Hasan sendiri?”
“Alhamdulillah,”
Aku mengajak Hasan duduk disebuah bangku. Tak jauh dari tempat murid-muridku belajar. Aku bisa melihat mereka dari tempatku sekarang.
“Ukhti sekarang hebat. Sudah jadi guru,” Hasan memujiku.
“Terima kasih, ana belum jadi apa-apa. Beda dengan Akhi yang sekarang sudah sukses.”
Hasan tertawa kecil. Rasa-rasanya aku dan Hasan masih terlihat canggung satu sama lain.
Beruntunglah, Kak Ilham segera datang dan mencairkan suasana dingin ini. Aku bergegas meninggalkan Hasan dan Kak Ilham untuk kembali mengajar murid-muridku. Kak Ilham mengajak Hasan beristirahat di rumah. Sembari menungguku selesai mengajar.
Kak Nadya yang juga pulang ke Indonesia ikut bersama Kak Ilham dan Hasan ke Jawa Tengah.
Aku berbagi kamar dengan Kak Nadya untuk sementara waktu.
“Besok Kakek dan beberapa saudaranya Hasan datang,” Kata Kak Nadya.
Aku kaget setengah mati mendengar kata Kak Nadya.
“Untuk apa?”
“Ya buat ngelamar kamu lah! Emang mau ngapain lagi?!”
“Tapi..., aku kan belum bilang setuju atau ngga,”
“Tapi kamu mau, kan?”
Aku tak kuasa menjawabnya.
“Diamnya seorang perawan itu tanda setuju,” Kak Nadya memojokkanku. “Udah, besok siap-siap aja menyambut mereka. Oke!
Aku tak bisa memejamkan mataku. Semuanya berjalan sangat cepat dan tak pernah kuduga bisa secepat ini. Kak Ilham pun tak pernah bercerita kalau Hasan akan segera datang bersama keluarganya secepat ini.
“...Bismillahirrohmaanirrohiim... Dengan mengharap ridlo dari Allah, saya menerima pinangan Akh Hasan,”


“Alhamdulillah...”
Ibu mencium pipiku dan memelukku. Neneknya Hasan, melingkarkan sebuah cincin emas yang sangat indah nan anggun. Sementara cincin perak yang pernah Hasan berikan dulu, aku pakai di jari tangan kiri.
“I hope you can be good wife,” ujar Neneknya Hasan.
Pernikahannya akan dilangsumgkan pada bulan Februari. Tentu saja bukan karena ada hari valentine di bulan itu. Karena di dalam islam tidak mengenal yang namanya budaya valentine. Selain karena bulan Januari rentan dengan hujan sehari-hari, pernikahan ini juga butuh waktu yang tidak singkat untuk mempersiapkan semuanya.
Lima belas Februari 2010. Hari ini cerah, secerah hatiku. Aku menikah di usiaku yang ke dua puluh satu.
“Akhirnya, menikah juga kau hari ini,”
“Salsa...!” Aku tak menyangka dengan kedatangan Salsa.
“Afwan, aku pergi ngga bilang sama kamu. Soalnya dulu itu mendadak banget.” Salsa cerita panjang lebar.
“Tapi bukan karena kamu marah sama aku kan?”
“Marah?! Mana mungkin aku bisa marah sama kamu. Lagian kamu bener banget waktu nyaranin aku biar ngga pacaran sama Fahmi. Dia ternyata playboy cap terasi. Waktu nembak aku dia udah punya dua cewek! Kurang ajar banget kan!”
Aku memeluk Salsa. Rasanya seperti menemukan kembali sesuatu yang sangat berharga.
“Tau ngga?”
“Ngga.”
“Ustadz Mahdi..., datang ke orang tuaku dan ingin berta’aruf sama aku!”
“Oya?” tanyaku meminta kepastian dengan apa yang aku dengar. “Alhamdulillah... Aku seneng banget dengernya! Selamat ya.”
“Kalau aku jadi nikah sama Ustadz Mahdi, kamu sama Hasan harus datang! Awas kalau ngga!”
Salsa mengiringiku keluar dari kamar rias. Sudah ada banyak tamu diluar. Hasan sendiri sudah ada di depan penghulu. Aku duduk dibagian tamu perempuan, dan bukan disampingnya Hasan. Kata Kakek, tidak baik duduk berdekatan ketika belum sah menjadi pasangan suami istri.
“Qobiltu nikahaha wa tazwijaha linafsi bi mahril madzkur haalan!”
“Alhamdulillah...”
Terima kasih kupanjatkan kepada-Mu Ya Allah! Untuk penantian cinta pertamaku yang berakhir dengan indah, dan jutaan nikmat lainnya. Aku bersyukur padamu ya alloh…






2 komentar: